0
Aspek Hukum Rekapitulasi Hasil Pemungutan Suara dan Dampaknya
Januari 6, 2025
0
ADR Academy

Aspek Hukum Rekapitulasi Hasil Pemungutan Suara dan Dampaknya

Di dalam suatu negara yang menganut sistem hukum atau dikenal dengan sebutan, negara hukum (state-law) yang berarti negara yang berlandaskan pada hukum (rule of law), berbeda secara fundamental dengan sebutan, rule by law alias negara yang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan (nya). 

Negara dengan tipe terakhir dikenal dengan negara otoritarian atau diktatorialship atau lazim terjadi monarchi absolut yang dimaknai raja atau ratu memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan dapat mengendalikan pemerintahan secara penuh tanpa pembatasan yang signifikan dari lembaga lain (Wikipedia).

NKRI sejak awal pendiriannya oleh para pendiri negara ini telah berketetapan bahwa RI dibentuk berdasarkan 4 (empat) pokok pikiran: pertama, bahwa RI menghendaki Persatuan atau Negara Kesatuan RI, Kedua, bahwa RI hendak mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat, Ketiga, bahwa RI adalah Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat dan berdasarkan Permusywaratan Perwakilan.Keempat, Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

NKRI tidak dibentuk berdasarkan Hukum melainkan diselenggarakan berdasarkan UUD yaitu UUD45 yang merupakan acuan dasar mengenai peraturan negara dan sebagai sebuah landasan hukum bagi Negaraf Kesatuan Republik Indonesia (Wikipedia). selanjutnya sebagai bukti bahwa NKRI dikelola berdasarkan Hukum, terdapat di dalam ketentuan UUD45, Pasal 4, 5, dan Pasal  24.UUD45. Bahkan di dalam Pembukaan UUD45 dinyatakan maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan Bukti nyata bahwa Indonesia atau NKRI berdasarkan Hukum, termasuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang dilaksanakan satu kali dalam 5 tahun.

Atas dasar Kedaulatan Rakyat itulah maka di dalam UU Nomor7 tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan antara lain, bahwa. diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsiitensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien, dan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Frasa terakhir dari pernyataan tersebut, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil lazim dikenal sebagai Jurdil; memiliki makna kandungan Kedaulatan berada di tangan rakyat untuk ikut menentukan calon – calon presiden pemimpin bangsa Indonesia.

Keenam kosa kata tersebut menuntut agar Pemilihan Umum yang diselenggarakan lima Tahun sekali itu bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan terutama konflik – konflik kepentingan pribadi.keluarga yang berlawanan dengan kepentingan bangsa (a nation) atau mayoritas 270 juta rakyat Indonesia.

Berita tentang kecurangan baik dalam proses pemilihan pasangan calon presiden/wakil presiden maupun dalam pelaksanaan Hari H telah menciderai pemilu yang diharapkan Jujur, adil, bebas dan rahasia.

Bawaslu telah menemukan Mobilisasi di 2632 TPS, dugaan intimidasi terhadap pemilih dan penyelenggara pemillu di 1271 TPS; selain itu Bawaslu menemukan di 2413 TPS berpotensi dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) karena di duga ada warga yang mencoblos suara sedangkan tidak memenuhi syarat sebagai pemilih (sindonews.com/Maret 2024). Temuan Bawaslu tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi Tindakan penyalahgunaan wewenang oleh KPU Daerah, KPPS, dan Petugas TPS setempat serta para saksi – saksi TPS yang dilaksanakan dengan menggunakan transaksi elektronik; Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Tindakan tersebut selain melanggar ketentuan UU Pemilu 2017 juga melanggar UU Nomor 11 tahun 2008 yang diubah UU Nomor 19 tahun 2016 (UU ITE). UU ITE telah menentukan bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi kepentingan umum dari segala gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (Pasal 40 ayat 2). Terhadap setiap orang yang melakukan Tindakan penyalahgunaan transkasi elektronik dengan sengaja yang mengakibatkan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 45A (1). 

Jika transaksi elektronik dengan sengaja dan tanpa hak menimbulkan kebencian atau permusuhan indivdiu/ atau kelompol masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pelanggaran UU Pemilu sesungguhnya cukup dikenakan sanksi yang telah diatur dalam UU Pemilu akan tetapi temuan Bawaslu tersebut di atas yang telah menimbulkan akibat kebencian atau permusuhan antar individu atau kelompok serta menyebarkan berita bohong dan menyesatkan informasi public maka ketentuan sanksi pidana UU ITE lah yang harus diberlakukan; tidak lagi ketentuan sanksi UU Pemilu. Ketentuan sanksi pidana UU ITE dapat diberlakukan jika terdapat laporan pengaduan dari korban yang telah dirugikan oleh suatu kejahatan dengan transaksi elektronik dan pihak Kepolisian harus telah melakukan penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan KUHAP yang berlaku. Dalam kasus pelanggaran Pemilu yang menggunakan transaksi elektronik berlaku asas Lex specialis derogate lege generali. Dalam kasus seperti ini maka Gakumdu sebagai Lembaga bentukan UU Pemilu yang khusus menangani pelanggaran Pemilu tidak lagi berwenang menangani Tindakan yang menjadi lingkup wewenang UU ITE dan Kepolisian. 

Baca Juga:  Masalah Ketentuan Sanksi Dalam UU Pemilu Tahun 2017

Sisi lain dari peristiwa Kecurangan dalam suatu pesta demokrasi yang dilupakan atau diabaikan oleh baik kalangan KPU dan Bawaslu serta pakar hukum adalah bahwa kecurangan tersebut bukanlah semata – mata perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan merupakan suatu kejahatan yang bersifat luar biasa, sehingga tidak dapat  tidak dapat disamakan atau disepadankan dengan kejahatan/ pelanggaran biasa. Hal ini disebabkan pertama, Kecurangan telah diduga dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif(TSM); dan Kedua, kecurangan dalam pemilu telah mengakibatkan kerugian materiel dan imateriel yang luar biasa besarnya baik dari aspek sumber daya manusia, tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilu.

Alokasi Anggaran Pemilu 2023 s/d 2024 adalah sebesar Rp 71.4 Trilyun rupiah, dan realisasi anggaran Pemilu per 31 Oktober Tahun 2023, Rp 18.8 Trilyun dengan rincian, untuk KPU dan Bawaslu sebesar Ro 16.3 Trilyun, dan untuk K/L lain sebesar Rp 2.6 Trilyun (belum termasuk untuk Tahun Anggaran 2024).

Bertolak dari kulatifikasi Tindakan Kecurangan dan Dana yang telah digunakan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran Pemilu 2024 dalam bentuk Kecurangan yang dilakukan secara TSM merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary crimes) dan sepadan dengan korupsi; kecurangan pemilu sama dengan korupsi suara lebih dari seratus juta rakyat Indonesia. Namun demikian juga tidak sepadan dengan ketentuan sanksi pidana yang dicantumkan dalam UU Pemilu 2017; antara lain sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pasal 551 Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Ihbupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palng banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Doktrin Hukum Pidana menyatakan bahwa bentuk Kesengajaan dalam suatu tindak pidana dimaknai bahwa, seseorang telah mengetahui (weten) perbuatan yang dilakukan, dan juga menghendaki (willen) terjadinya akibat perbuatannya. Doktrin Hukum Pidana mengenai unsur Kesengajaan (Dolus) termasuk kualifikasi perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat – jahat (mens-rea) dan dalam konteks pelanggaran – kecurangan pemilu; kesengajaan dimaksud dipastikan dilakukan dengan persiapan – perencanaan yang TSM oleh pembuat. Bertolak dari doktrin hukum pidana maka kecurangan pemilu sepatutnya ditempatkan pada jenis kejahatan berat dan bersifat luar biasa apalagi kecurangan tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan pemimpin Indonesia lima Tahun yang akan datang yang berarti menentukan pula masa depan bangsa dan NKRI untuk lima Tahun yang akan datang bahkan selanjutnya. 

Kecurangan pemilu 2024 yang dilakukan dengan cara persekongkolan – permufakatan jahat adalah bentuk penghianatan terhadap bangsa dan NKRI yang bertentangan secara diametral dengan filosofi kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD45. 

Bertolak dari pernyataan Roy Soeryo(13 Maret 2024) yang mengemukakan bahwa ada kolaborasi KPU dengan pihak korporasi Asing Cina – Ali Baba yang turut membuat Cloud untuk sistem rekapitulasi hasil penghitungan suara di seluruh daerah di Indonesia; dapat dikatakan bahwa, kecurangan yang telah terjadi dalam proses Pemilu 2024 telah dicampuri oleh pihak asing disadari atau tidak disadari dan kolaborasi dalam hal kejahatan pemilu 2024 termasuk masalah hukum pidana internasional; artinya, kejahatan pemilu dapat diajukan melalui Lembaga internasional. Bagi pihak Kepolisian sebagai penjaga Kedaulatan Hukum NKRI adalah merupakan kewajiban untuk segera melakukan penyelidikan/penyidikan melalui Biro Interpol-RI.

Dalam hubungan ini DPR RI sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia, 270 juta jiwa; perlu melakukan pengawasan aktif dan melekat pada Instansi Polri dalam proses penyelidikan/penyidikan kasus kolaborasi dengan pihak asing tersebut dan hasil penyelidikan wajib diungkapkan ke hadapan public secara transparan dan terbuka tanpa ada niat untuk menutupi apapun hasil penyelidikannya. 

Leave a Comment