0
Juli 16, 2024
0
ADR Academy

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)

Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan peristiwa penganiyaan seorang anak pejabat pajak yang berujung masalah harta kekayaan ayah dari pelaku penganiayaan yang ternyata putra seorang pejabat pajak; dan disebutkan dalam medsos, pelaku tersebut memamerkan keberadaannya mengendarai rubicon dan moge yang menurut penilaian, seharga lebih dari ratusan juta rupiah. Dalam peristiwa yang terkait pejabat pajak yang merupakan penyelenggara negara, sepatutnya masyarakat khususnya pejabat penyelengga negara memahami UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

UU aquo adalah UU Payung (Umbrella Act) peraturan perUUan yang mengatur masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang hanya dapat dilakukan seorang Penyelenggara Negara atau saat ini dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara. Sehingga ketika membaca ketentuan UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 tahun 1999, fokus utama adalah siapa subjek yang di duga telah melakukan tindak pidana korupsi, kemudian adakah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang  diakibatkan oleh Penyelenggara Negara.

Dalam praktik justru yang dicari adakah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dari perbuatan penyelenggara yang di duga telah melakukan tindak pidana korupsi (lazim dari LHP BPK/BPKP). Di dalam UU Nomor 28 tahun 1999 telah dinyatakan bahwa, Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Dalam praktik justru yang dicari adakah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dari perbuatan penyelenggara yang di duga telah melakukan tindak pidana korupsi (lazim dari LHP BPK/BPKP).

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Di dalam definisi tersebut jelas dan terang bahwa, pelaku tipikor dan subjek hukum adalah hanya penyelenggara negara bukan yang lain. Namun demikian di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001, diikutsertakan juga keuntungan selain bagi diri sendiri (pelaku) juga orang lain atau korporasi; penafsiran hukum atas dua ketentuan tersebut menunjukkan bahwa orang lain atau korporasi dapat ditetapkan sebagai pelaku tipikor.

Sehingga subjek hukum dalam tipikor telah diperluas sedemikian rupa menjadi subjek hukum Penyelenggara Negara, orang lain selain penyelenggara negara, dan korporasi. Konsekuensi hukum dari perubahan/perluasan tersebut, dalam praktik semakin tidak jelas siapa pelaku utama dan pelaku peserta. Sejalan dengan konsep pelaku-peserta yaitu adanya meeting of mind and action, fungsi dan peranan pelaku dalam tipikor bisa terjadi, pelaku dan/atau pelaku peserta. Yang perlu diketahui oleh Penyelenggara Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan, mereka diwajibkan menjalankan asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.

Ketujuh asas-asas tersebut merupakan landasan moril dan hukum untuk setiap tugas dari Penyelenggara Negara tanggung jawab tidak boleh diabaikan atau dilupakan agar setiap keputusan yang diambil oleh penyelenggara negara memperoleh ridho dan rahmat dari Allah Subhana Wa’tala. Selain asas-asas penyelenggaraan negara, setiap penyelenggara Negara berkewajiban antara lain, untuk: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; dan tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di dalam kenyataan beberapa kasus mega-skandal korupsi dipastikan terdapat perbuatan Penyelenggara Negara, kolusi dan nepotisme yang tampaknya hampir jarang diterapkan

Di dalam kenyataan beberapa kasus mega-skandal korupsi dipastikan terdapat perbuatan Penyelenggara Negara, kolusi dan nepotisme yang tampaknya hampir jarang diterapkan ketentuan keduanya di dalam UU Nomor 28 tahun 1999, seperti dalam kasus Formula E terkait hubungan AB dan DPJ, kasus BTS terkait adik menkomifo, kasus kementrian perdagangan, dan korupsi di Propinsi Papua. Sedangkan diketahui bahwa kedua jenis perbuatan tersebut telah dinormakan dan diancam pidana. Pasal 21 Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000, (satu milyar rupiah).

Pasal 22 Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000, (satu milyar rupiah). Peristiwa Pejabat Pajak yang diduga memiliki harta kekayaan pribadi senilai Rp. 50 miliar dan dipertanyakan asal usulnya tidak akan terjadi jika KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak dibubarkan dan dilebur ke dalam tugas dan tanggung jawab KPK berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002, masalah asal usul harta kekayaan pejabat Pajak yang sedang diramaikan tidak akan terjadi.

Komisi Pemeriksa tersebut merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara. KPKN memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis untuk mencegah lebih dini kemungkinan terjadinya praktik KKN yaitu sebagai berikut,  a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara; b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara; c. melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan; d. Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan; e. Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk pada lima tugas dan wewenang KPKN sesungguhnya bertujuan membantu dan melengkapi tugas dan wewenang KPK yang fokus pada strategi penindakan; dua strategi preventif dan represif memang di desain pada tahun 1999 -era reformasi; untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN (Good Governance) yang saat ini mengalami kegagalan total dalam strategi preventif oleh KPK. Banyak kasus korupsi yang terjadi, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) baru diklarifikasi dan diketahui harta kekayaan penyelenggara negara sesungguhnya. Kelambanan kinerja deputi pencegahan ssesungguhnya disebabkan keterbatasan SDM di kedeputian Pecegahan yang tidak pernah teratasi sejak KPK Jilid I, Taufik Ruki cs sampai saat ini. Hal ini disebabkan KPK terlalu memfokuskan diri pada strategi penindakan saja termasuk OTT sedangkan strategi pencegahan terabaikan.

Leave a Comment