

Salah satu tujuan dari Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 adalah Assets Recovery atau Pemulihan Aset Korupsi; istilah sering ditafsirkan keliru dengan pengembalian asset korupsi atau returning of asset of corruption. Pemulihan Aset adalah, proses membangun asset hasil korupsi menjadi asset negara seutuhnya sedangkan pengembalian asset adalah, proses penempatan asset korupsi menjadi bagian dari harta kekayaan negara.
Dalam konteks asset tindak pidana seperti korupsi, narkotika, dan kejahatan transnasional lainnya; masalah asset tindak pidana merupakan masalah internasional dan juga masalah nasional tiap negara terutama negara peratifikasi UNCAC 2003 yang salah satu tujuannya adalah asset – recovery. Namun demikian di sisi lain dri penegakan hukum pidana, terdapat asas praduga tak bersalah dikenal, presumption of innocence; the fundamental criminal law principle that a person may not be convicted of a crime unless the government proves guilt beyond a reasonable doubt, withour any burden placed on the accused to prove innocence (Black’s Law Dictionary, 2001, 549).
Asas praduga tak bersalah dalam hampir semua sistem hukum kecuali sistem hukum di negara – negara yang menganut sistem hukum sosialis; dipandang merupakan hambatan mendasar dalam proses asset recovery melalui tuntutan pidana sehingga praktik hukum di negara – negara maju seperti AS, Italy dan Irlandia; dimungkinkan perampasan asset melalui gugatan keperdataan atau disebut preventiove confiscation of asset dari seorang tersangka yang di duga berasal dari kejahatan. Pembuktian yang dilakukan dalam perampasan tersebut tidak menggunakan pembuktian asal usul perolehan asset yang di duga berasal dari tindak pidana melainkan digunakan pembuktian yang disebut, balanced probability atau tuntutan perdata kemungkinan terbesar dari asset berasal dari tindak piana digabungkan dengan ketidakmampuan pemiliknya membuktikan sebaliknya (Oliver Stolpe,tidak dipublikasi). Pola perampasan asset korupsi dan juga kejahatan serius lainnya, dapat dilakukan melalui penuntutan pidana (criminal conviction) dan penuntutan perdata (Civil litigation); perbedaan mendasar dari kedua pendekatan tersebut, adalah bahwa, pendekatan pertama baik pemilik asset korupsi maupun harta kekayaan yang berasal dari korupsi dapat dirampas untuk negara jika terdakwa telah dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan korupsi.
Pendekatan kedua, ditujukan terhadap perampasan asset korupsi tanpa pemiliki asset yang diduga berasal dari korupsi dituntut pidana dan terdakwa berkewajiban membuktikan bahwa asset yang dimilikiny dianggap berasal dari korupsi kecuali terdakwa pemilik asset dapat membuktikan sebaliknya. Proses pembuktian atas keabsahan kepemilikan asset pada terdakwa dikenal sebagai presumption of guilt dengan menggunakan metoda pembuktian terbalik atau beban pembuktian berada pada terdakwa pemilik asset yang di duga berasal dari korupsi. UU nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) tidak menganut metoda pembuktian terbalik atau reversal of burden of proof melainkan metoda proof beyond a reasonable doubt di mana prinsip paraduga tak bersalah lebih diutamakan.
Sedangkan metoda pembuktikan terbalik dalam perampasan asset melalui tuntutan keperdataan menggunakan metoda pembuktian yang disebut Balanced Probability Principle atau pembuktian keseimbangan di mana tujuan utama adalah mengembalikan asset korupsi dengan cara terdakwa pemilik asset wajib membuktikan keabsahan kepemilikan asetnya; dilandaskan pada prinsip presumption of guilt atau praduga bersalah terhadap setiap sen asset yang di duga berasal dari korupsi.
Namun demikian dalam praktik hukum penerapan pembuktian konvensional di mana pembuktian melalui penuntutan pidana tidaklah rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka dengan dianutnya prinsip praduga tak bersalah; berbeda dengan penuntutan keperdataan kerentanan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka dengan prinsip praduga bersalah atas asset korupsi yang nota bene rentan terhadap pelanggaran hak asasi terdakwa – praduga tidak bersalah;dapat dimitigasi dengan metoda pembuktian terbalik berada pada terdakwa bahwa kepemilikan aset – aset tidak berasal dari korupsi.
Pola perampasan asset melalui tuntutan pidana dan keperdataan telah dicantumkan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sampai saat ini belum diberlakukan. Masalah kontroversi antara di satu sisi, kehendak untuk melaksanakan perampasan terhadap aset – aset yang berasal dari kejahatan dan di sisi lain keterikatan banyak negara atas ICCPR 1966 dan Konstitusi negara telah membawa masalah tersendiri bagaimana meningkatkan Upaya negara/pemerintah melakukan pemberantasan kejahatan khususnya yang dilakukan oleh organisasi internasional dalam kejahatan (international and transnational organized crimes).
Dampak negative yang bersifat masif dan dijalankan secara terstruktur dan sistematis Organisasi Internasional dalam Kejahatan diperkirakan memiliki dana anggaran mencapai ¾ dari anggaran negara – negara berkembang sehingga dengan kekuatan finansial yang signifikan dan dukungan teknologi komunikasi yang canggih tidak dapat dinafikkan bahwa ia dapat menguasai suatu negara yang miskin bahkan negara yang berkembang. Dampak negative dari akibat kejahatan organisasi internasional yang telah merusak sistem perekonomian dunia pada umumnya dan negara – negara berkembang pada khususnya adalah kejahatan pencucian uang di mana uang hasil kejahatan yang tersebar di berbagai negara telah di – recycle Kembali ke negara – negara tujuan melalui sistem keuangan dan perbankan masing – masing negara tersebut.
Melihat betapa luas dampak negative dari kegiatan organisasi kejahatan internasional ini maka perampasan asset tindak pidana melalui dua pola pendekatan secara parallel, pola kepidanaan dan keperdataan; merupakan Solusi terkini, aktual dan relevan dengan perkembangan kualitatif dan kuantitatif kejahatan baik pada level nasional, transnasional dan internasional.