0
Sisi Lain Dalam Pemberantasan Korupsi
Januari 5, 2025
0
ADR Academy

Sisi Lain Dalam Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi meningkat pesat sejak era reformasi Tahun 1998 yang ditandai oleh pembaruan di segala bidang, antara lain bidang perekonomian, bidang sosial, dan bidang hukum serta bidang politik. Pembaruan-pembaruan tersebut ditandai oleh perubahan peraturan perundang-undangan mengenai bidang tersebut atau pembentukan UU baru daripadanya. Salah satu pembaruan bidang hukum yang penting bertolak dari pengalaman kekuasaan rezim Suharto dikenal tindakan-tindakan yang disebut Korupsi, Kolusi dan nepotisme; telah diundangkan pembaruan UU Nomor 3 tahun 1971 Pemberantasan Korupsi dengan UU Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diperbarui  kembali dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dengan memasukkan pembuktian terbalik atau beban pembuktian terbalik pada tersangka/ terdakwa dan kewajiban Penyelenggara Negara melaporkan harta kekayaannnya sebelum, selama dan 5(lima) Tahun setelah selesai melaksanakan tugas sebagai penyelenggara negara; untuk tujuan tersebut diperkuat UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Berwibawa Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dikenal UU KKN. 

Pasca pemberlakuan UU terkait pemberantasan korupsi tersebut telah diundangkan UU yang melarang perbuatan menempatkan, menyamarkan dan mengintegrasikan hasil harta korupsi ke dalam harta kekayaan yang sah yang diperoleh penyelenggara negara atau dikenal dengan UU Nomor 8 tahun 2010 Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tujuan agar tidak sedikitpun harta kekayaan hasil korupsi dapat dinikmati oleh para pelakunya atau keluarga atau kerabatnya. Keseliruhan peraturan perUUan tersebut menggunakannpensekatan retroburif hanya beertujuan penghukuman semata-mata dengan  ancaman  pidana penjara dan memiskinkan koruptor. Diakui pendekatan tersebut telah berhasilmmemasukkan koruptor ke dalam penjara akan tetapi tidak mengembalikan uang hasil korups I ke negara demgan signifikan. Bahkan kontra- produktif, telah menambah beban biaya yang mengerogoti dana APBN yang dipungut dari Pajak rakyat. Atas dasar pertimbangan itu pula negara-negara anggota peratifikasi UNCAC 2003 seperti AS, Inggeris dan anggota Uni Eropa telah memgubah kebijakan penanggulangan segaka bentuk korupsi dengan pendekatan analisis ekonomi yang memgutamakan prunsip keseimbangan, efisiensi dan kemanfaatan. 

Contoh kasus suap yang melibatkan pabrik pesawat Boeing di Indonesia- pemberian suap kepada Dirut PT pebwrbangan Garuda telahn diberikan kebijakan hukimmbaru yang disebut Deferred Prosecution Agreement ( DPA).;kenikan hukum DPA  menggunakannpwnsekaran efisiensi di manan korporasi Boeing telah dinyatakan terbukti melakukan suap akan tefapi pemuntutan dihentikan deemgan syarat korporasibBoeing wajib membayar denda penalti dengan nilaib10 kalimlipat dari jumlah denda dalam UU Tipikor kepada negara. Tetapi di sisi lain korporasi Boeing di proteksi dari tuntutann pidana dan perdata pihak lain atau negara lain. Pendekatan hukum yang relative baru tersebut-DPA- telah dipraktikan selain di AS, juga di Inggeris dan Perancis. Berkaca pada praktik DPA tersebut seyogyanya pemberantasan korupsi termasuk suap di dalam sistem hukum pidana Indonesia mengambil sisi baiknya bagi efisiensi pemberantasan korupsi terutama bagi negara dan kesejahteraan rakyatnya. 

Baca Juga:  Etika Berpolitik dan Penegakan Hukum

Hal ini patut dipertimbangkan karena biaya dari APBN untuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian juga untuk Inspektorat Pengawasan dan Satuan Pengawas Internal (SPI) di K/L sangat tinggi sehingga tidak sebanding dengan pemasukan keuangan bagi negara setiap Tahun dengan kata lain, besar pasak dari tiang; sehingga arah politik hukum dalam pemberantasan korupsi perlu dievaluasi dan di arahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan nyata (riel) bagi bangsa dan negara serta tidak menambah hutang negara yang semakin meningkat per Tahun anggarannya. 

Perubahan arah poiitik hukum pemberantasan korupsi antara lain dengan perubahan atas UU Nomor 20 tahun 2001 dengan memasukkan ketentuan lain melengkapi ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 serta pasal suap dan gratifikasi, yaitu dengan ketentuan mengenai DPA. Selain itu norma pasal 2 dan pasal 3 diberikan penjelasan lengkap mengenai maksud dan tujuan serta sasaran pemberantasan korupsi yaitu pertama penyelenggara negara dan kedua, pihak lain selain penyelenggara negara. Selain perubahan atas UU Nomor 20 tahun 2001, juga agar segera diundangkan RUU Perampasan Aset yang merupakan senjata pamungkas terakhir yang diharapkan dapat mencegah setiap penyelenggara negara melakukan korupsi termasuk juga pihak lain selain penyelenggara negara. 

Hasil yang diharapkan dengan perubahan arah politik hukum dalam pemberntasan korupsi ini adalah, petama, sasaran dan tujuan pemberantasan korupsi dapat dicapai secara efisien dan efektif tanpa harus membebai dana APBN setiap Tahun anggarannya; dana APBN selebihnya dapat digunakan untuk menaikkan selain gaji juga tunjangan kinerja (tunkin) aparatur hukum secara maksimal untuk melancarkan pelaksanaan tugas dan wewenang Lembaga Penegak Hukum. Khususnya dan Lembaga pengawasan internal K/L. Selain perubahan arah politik hukum tersebut terleih penting dan sangat berarti menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi terhadap kinerja penyelenggaraan negara, adalah pemberian imunitas terhadap pimpinan Lembaga Penegak Hukum, KPK, Kejaksaan, Kepolisian baik Tingkat pusat maupun daerah dari proses pembusukan dan kriminalisasi serta politisasi terhadap proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi baik yang berasal dari kekuasaan eksekutif maupun legislative. 

Selain penguatan di sektor kelembagaan juga perlu dikuatkan dengan Lembaga pengawasan khusus terhadap kinerja pemberantasan korupsi dengan membentuk Lembaga Pengawas Independen yang tesentralisasi di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada MPR dan  diberikan mandat UU untuk melaksanakan tugas pengawasan eksternal dan internal serta dengan memiliki kemandirian dan bebas dari intevensi kekuasaan dan politik. 

Leave a Comment