

Pengetahuan mengenai keadilan restorative bukanlah hal baru dalam kancah ilmu hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dan bagi Masyarakat Indonesia pada umumnya. Keadilan restorative itu sendiri yang diartikan sebagai Upaya pemulihan keseimbangan hubungan antara anggota Masyarakat yang terganggu karena perbuatan yang merugikan salah satu pihak dengan melalui perdamaian demi keadilan Bersama, pelaku dan korban (peace for justice). Apalagi keadilan restorative cocok dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila yang mengutamakan kehidupan yang rukun, aman, tentram dan Sejahtera dalam Masyarakat.
Keadilan Restoratif (KR) atau Restorative Justie (RJ) disebut juga informal justice yang memiliki konotasi tidak berbeda dengan penggertian RJ di atas. Dihubungkan dengan sistem peradilan pidana dapat dijelaskan bahwa RJ/KR merupakan hukum yang bersifat responsive atau Responsive regulation, jauh berbeda dengan konsep pemikiran Repressive regulation yang merupakan sarana mencapai keadilan retributive atau Retributive Justice, yang telah dianut dan dipraktikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia sejak Tahun 1946, dan diberlakukan di seluruh Indonesia sejak berlakunya UU Nomor 73 tahun 1958; pemberlakuan sementara menunggu lahirnya KUHP Nasional yang kemudian pada tanggal 2 Hanuari 2023 telah disahkan UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga dapat dikatakan bahwa, untuk pertama kali dalam Sejarah Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan kita memiliki UU Nasional hasil karya anak bangsa sendiri.
Sekalipun demikian, UU baru ini perlu dipahami bahwa memiliki filsofi, visi dan misi yang jauh berbeda dengan KUHP Tahun 1946 warisan pemeritah colonial Belanda. Perbedaannya, bahwa filosofi pembalasan (revenge) yang mengutamakan pemenjaraan pelaku tindak pidana telah dikurangi sedemikian rupa digantikan dengan filosofi Pancasila yang mengutamakan perdamaian atau pemulihan keseimbangan antara pelaku, korban dan masyarakat sekitarnya. Upaya mewujudkan KR di dalam praktik peradilan pidana telah dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2020 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, antara lain memuat ketentuan mengenai syarat-syarat fomil dan meteriel penanganan perkara berdasarkan Keadilan Restoratif. Berdasarkan Perkapolri tersebut, Keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.
Begitu juga Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI (PERJA) Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Resoratif Berdasarkan PerJA tersebut, KR dirumuskan: penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan. PerJA tersebut membedakan penyelesaian perkara dengan dilakukan pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan KR disamping khusus untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undnangan.
Intinya tidak ada perbedaan prinsipill antara mekanisme KR di Kepolisian dan di Kejaksaan. KR di kepolisian dengan mengeluarkan Surat Penghentikan Penyidikan Perkara (SP3) dan di Kejaksaan dengan mengeluarkan surat penghentian penuntutan (SKPP). Perbedaannya, KR menurut PerPol nomor 8 tahun 2021 berlangsung dalam proses penyelidikan dan penyidikan sedangkan KR menurut Perja No 15 tahun 2020 berlangsung dalam proses penuntutan. Perbedaan lain adalah mengenai persyaratan untuk mengikuti proses KR di masing-masing Instansi tersebut.
KR di Kejaksaan diberikan dalam konteks penghentian penuntutan; KR di Kepolisian diberikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang berakhir perdamaian antara pelaku dan korban. Secara keseluruhan alternatif penyelesaian perkara melalui KR merupakan Solusi dari kebuntuann penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan retributive dan efek samping daripadanya yang telah banyak menimbulkan keburukan yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia yang memang belum dikenal para pelopor keadilan retributif ketika dicetuskan pada abad 18.
Perubahan singnifikan terhadap pandangan peradaban tentang bagaimana sepatutnya negara mencegah kejahatan dan selanjutnya menghadapi masalah kejahatan di masyrakat telah memperoleh tempatnya di dalam kesepakatan Masyarakat internasional mengenai urgensi adanya perlindungan hak asasi setiap orang bukan hanya dalam status tersangka/terdakwa semata melainkan juga dalam status sosial yang bebas dari penindasan dan perlakuan yang diskriminatif oleh negara terhadap rakyatnya. Kemajuan peradaban manusia sejak pertengahan abad 19 diwujudkan dalam Konvensi PBB tentang Hak-Ekonomi, Hak sosial dan Hak Poliitik (1966) atau International Covenant on Civil and Political.
Pertimbangan PBB dalam konvensi internasional antara lain, mengakui kebebasan manusia menikmati hak-hak sipil dan hak politik serta bebas dari ketakutan dan kekurangan yang hanya dapat dicapai jika kondisi dibentuk di mana setiap orang dapat menimkati hak-hak sipil dan politiknya termasuk juga hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Kewajiban Negara di bawah Piagam PBB untuk memajukan penghormatan secara universal untuk dan pengamatan dan hak asasi dan kebebasan manusia. Kajian atas maksud /tujuan dan substansi konvensi tersebut sejalan dan searah tujuan dengan substansi Mukadimah UUD45 yang merupakan letimotive dari perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga tidak alasan apapun dan tanpa kecuali Pemerintah Indonesia dan segenap birokrasi serta apparat hukum wajib mematuhinya dengan sungguh-sungguh.
Dalam konteks harapan tersebut, seyogyanya persyaratan-persyaratan untuk memenuhi tujuan KR dipermudah dan tidak diperumit dengan sistem birokrasi yang berlaku akan tetapi sebaiknya juga dicoba digunakan sistem online dari pemohon ke instasi kepolisian terdekat dengan Masyarakat sekitar. Dalam masa transisi menuju kepada arah cita alternatif Solusi KR ini diperlukan kesiapan sumber daya, dana dan sarana/prasarana yang memadai antara lain penempatan pos pelayanan hukum (pos yankum) di kelurahan/kecamatan sehingga KR terjangkau oleh Masyarakat pedesaan.