0
Kelemahan Hukum Menghadapi Kekuasaan
Januari 3, 2025
0
ADR Academy

Kelemahan Hukum Menghadapi Kekuasaan

Pasca Putusan MKRI Nomor 90 tahun 2023 dan peristiwa selanjutnya seperti ketidakmampuan KPU dan Bawaslu menegakkan peraturan perundang – undangan mengenai penyelenggraan pemilu 2024 menunjukkan bahwa pada hakikatnya hukum tidak berdaya melawan atau bersebrangan dengan kekuasaan bahkan akhir dari perjalanannya tampak seperti “ bebek lumpuh” ( lame – duck). Sedangkan secara teoeitik hukum, diketahui bahwa hukum dan kekuasaan selalu berkelindan satu sama lain; hukum tidak dapat diwujudkan tanpa ada kekuasaan yang menjalankannya akan tetapi jika kekuasaan yang dijalankan tanpa dasar hukum (akan) timbul anarkhi atau tindakan sewenang – wenang yang dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ditempatkan pada bagian yang paling buruk (the worse place of interest) dari suatu kekuasaan; lazim terjadi pada sistem pemerintahan Monarkhi absolut. 

Namun dalam kenyataan praktik, mahluk yang sempurna untuk mewujudkannya keseimbangan antara hukum dan kekuasaan dan satu – satunya adalah manusia; manusia yang beragama dan dengan amanah selurus – lurusnya menjalankannya. Adakah? Jawaban yang pasti, tidak sulit menemukannya akan tetap sangat langka adanya. Yang ada dan sering ditemukan adalah manusia yang menjalankan hukum dengan sewenang – wenang; melampaui batas kewenangannya batas wewenang, mencampuradukkan wewenang atau bahkaan melakukan tindakan sewenang- wenang

Pengalaman praktik penegakan hukum ternyata 99% dijalanlan secara sewenang – wenang atau bahkan melanggar hukum dan terbanyak, mereka yang amanah dan lurus menjalankan UU justru tersisih dari jenjang birokrasi sebaliknya yang bertindak sewenang – wenang memperoleh promosi. Bentuk ketidak – adilan dlm sistem birokraai baik sipil maupun militer dan kepolisiam sudah menjadi rahasia umum. Dalam kata2 Nicolo Machiaveli diperkuat Hobbes perilaku sedemikian disebit “ HOMO HOMINI LUPUS BELLUM OMNIUM CONTRA OMNES atau Manusia bagai serigala terhadap manusia lain; satu sama lain salimg memangsa”. 

Separah itukah komunitas masyarakat bangsa yang dkenal dengan simbol, Bhinrkla Tinggal IKa dan Pamcasila? Jawabannya, tidak betul akan tetapi saat ini dalam kondisi sosial menuju ke arah sana jika pimpinan bangsa ini tidak segera kembali menahan diri merenungi bangsa kita di masa yang akan datang. Bagi para ahli hukum, sejarah hukum dan keadilan penuh dengan darah, air mata dan keusakan fisik parah; tidak ada perjuangan menegakkan hukum yang tanpa pengorbanan (given) karena sangat dipercaya sampai saat ini bahwa, Ratu Adil: akan datang bagi khususnya bangsa Indonesia. 

Apakah kiramya keadilan hukum yang dibawakan dan diberikan kepada bangsa ini? Sudah saatnya sejak bangsa ini merdeka tujuh puluh enam tahun tidak pernah ada satu teori hukum baru yang bersifat komprehensif dan mendasar tentang bagunan tepri hukum yang cocok untuk kehidupan bngsa ini. Yang telah ada hanyalah konsep hukum baru hasil modifikasi teori barat tentang hukum yang memiliki latar belakamg sosial dan budaya berbeda dengan masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen. Di dalam bidang hukum pidana, telah sering terjadi kesungguhan teoritisi hukum mengembangkan dan mengajarkan teori hukum yang ternyata dalam praktik tidak cocok atau bahkan telah menimbulkan kegaduhan, ketidakpastian, ketidak adilan bahkan kemanfaatan bagi individu, masyarakat dan negara. 

Contoh kasus – kasus pidana selama kurang lebih 76 (tujuh phljh enam) tahun khususnya sejak orde baru dan orde reformasi orde terkini; ada banyak perkara pidana yang keliru menjadikan seseorang tersangka bahkan mendekam di lembaga pemasyarakatan tanpa kesalahan apapun; inilah yang disebut miscarriage of justice yang telah banyak menimbulkan korban – korban keganasan hukum pidana yang tidak bersalah. Sejatinya hukum pidana menurut. Alm Roeslan Saleh merupakan pergulatan kemanusiaan sehingga menurut Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana harus menjaga keseimbangan antara rasio dan nurani di mana ukuran kesalahan seseorang yang di duga melakukan tidak hanya dapat dinilai dari pidana dipenuhinya unsur –  unsur tindak pidana melainkan juga harus diukur dari faktor lingkungan sosial dan karakter objek yang dijadikan bahan untuk korupsi seperti factor lingkungan sosial dan lingkungan sumber daya alam. 

Baca Juga:  Menelisik Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia: Tantangan dan Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia

Hal ini diperlukan agar hukum pidana tidak dijadikan sarana yang bersifat primum remedium tetapi ultimum remedium; dalam hal ini, sarana hukum administrt=asi dan sarana hukum perdata seyogyanya digunakan terlebih dulu – sarana primum remedium; apabila Kedua sarana hukum tersebut tidak efektif atau tidak mampu mengendalikan kasus terkait maka sarana hukum pidana harus dijadikan sarana primum remedium. 

Penggunaan sarana hukum pidana sebagai primum remedium jelas dimaksudkan hukum pidana dipandang sebagai satu – satuya sarana yang dipandang ampuh dan efektif mencegah dan memberantas kejahatan seperti tindak pidana korupsi namun demikian cara tersebut mencerminkan bahwa, politik hukum pidana yang digunakan adalahn mencapai tujuan keadilan retributive tetapi tidak mencapai tujuan lain seperti keadilan restorative atau pemilik kekuasaan dalam bidang hukum beranggapan dan secara apriori sarana hukum administrative dan sarana hukum perdata tidak mampu lagi mencegah dan memberantas kejahatan tersebut seperti pada umumnya terjadi pada kasus dugaan tindak pidana korupsi. 

Berdasarkan pemikiran tentang sarana hukum pidana tersebut maka di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pembertantasan Tindak pidana Korupsi (UU Tipikor) , telah dimasukkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 sekalipun Kedua ketentuan tersebut sama – sama menuntut adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan pidana yang dijadikan motivasi kerugian dimaksud berbeda; ketentuan Pasal 2 mengutamakan perbuatan yang bersifat melawan hukum; pada umumnya sering terjadi pada lingkup jangkauan hukum perdata; sedangkan ketentuan Pasal 3 mengutamakan perbuatan penyelahgunaan wewenang yang termasuk lingkup hukum administrasi. 

Menjadi jelas kiranya maksud/tujuan pencantuman Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam UU TIpikor yaitu mencari dan menemukan cara yang tepat dalam mengungkap peristiwa Tipikor namun demikian pola penggunaan cara tersebut tidak tatanan seluruh bangunan sistem hukum yang ada dimana suasana kerja Lembaga negara K/L tidak tidak mengalami kerusakan total sebagaimana layaknya di dalam puisi (bhs sunda), lauknya beunang, cairna herang atau ikannya dapat dan air (kolam) tetap bersih/tidak kotor. 

Dalam konteks pemahaman hukum anti korupsi inilah semakin jelas bagaimana fungsi dan peranan UU Tipikor dalam membangun sistem penyekenggaraan negara yang bebas korupsi,kolusi dan nepotisme Dimana penggunaan kekuasaan in casu hukum tetap objektif, nyaman, dan tidak tumpang tindih. 

Leave a Comment