0
Adanya ketentuan sanksi etik dan sanksi administrative yang jauh lebih banyak dari ketentuan pidana mencerminkan bahwa pembentuk UU (DPR dan Pemerintah)
Januari 1, 2025
0
ADR Academy

Masalah Ketentuan Sanksi Dalam UU Pemilu Tahun 2017

Banyak pertanyaan sinis Masyarakat terhadap sanksi yang dijatuhkan baik oleh MKMK dan DKKPU terhadap pelaku yang dinyatakan telah bersalah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan UU Pemilu Tahun 2017. Di dalam UU Pemilu 2017, juga dalam pemilu sebelumnya; telah dibedakan antara sanksi etik dan sanksi administrative serta sanksi pidana. Pengalaman menunjukkan bahwa 99% perkara pelanggaran ketentuan dalam UU Pemilu 2017 hanya dijatuhkan sanksi etik dan atau sanksi administrative; sanksi pidana bahkan dapat dikatakan nihil khususnya dalam pemilu Tahun 2024 ini. 

Pertanyaan yang selalu mengusik adalah mengapa untuk mencegah dan membersihkan penyelenggaraan Pemilu lima Tahun sekali yang digaungkan sebagai pesta rakyat berdemokrasi dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat di mana hak rakyat berpatisipasi dalam memilih pemimpinnya secara jujur dan adil, terbuka bebas dan rahasia, kepada perusak pesta hak rakyat tersebut, hanya dijatuhi sanksi ringan – etik dan administrasi, mengapa pemerintah dan DPR RI tampak ragu-ragu untuk memperkuat sanksi pidana seberat-beratnya terhadap perusak pesat rakyat berdemokrasi yang hanya diselenggarakan sekali dalam lima Tahun; sanksi pidana paling lama 6 (enam) Tahun, berarti dapat dijatuhi hukuman 1 (satu) Tahun; dan pidana denda paling banyak antara Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) dan Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). 

Sanksi-sanksi tersebut tercantum dalam ketentuan pidana sebanyak 67 (enam puluh tujuh) pasal akan tetapi satu pasalpun hampir jarang dijatuhikan kepada pelanggar kecuali sanksi etik dan sanksi administatif. Adanya ketentuan sanksi etik dan sanksi administrative yang jauh lebih banyak dari ketentuan pidana mencerminkan bahwa pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) tampak enggan memberikan efek jera terhadap pelaku perusak pesta demokrasi rakyat, bahkan lebih berani menentukan hukuman berat terhadap tindak pidana biasa dan permisif terhadap pelanggar larangan penyelenggaraan pemilu. Fakta ini sungguh sangat mengherankan sehingga dari pengalaman 7(tujuh) kali pemilihan umum, baik sanksi atas pelanggaran etik, administrative maupun pelanggaran bersanksi pidana tidak ada efek jera sama sekali layaknya berlalu seperti air mengalir di Sungai hanya sedikit batu-batu ganjalan saja. 

Jika ketentuan sanksi pemilu dibiarkan tetap dalam keadaan status quo maka diperkirakan pemilu lima dan sepuluh Tahun yang akan datang akan terjadi dan dianggap riak-riak kecil semata berasal dari kelompok pemilih yang tidak puas atas kekalahannya. Jika demikian halnya pertanyaan yang perlu diajukan dan bersifat mendasar adalah, apakah kita bersama dan pemimpin bangsa ini serius melaksanakan pesta demokrasi lima Tahun sekali atau sekedar menghabiskan dana yang telah disiapkan negara (APBN) dan disetujui di meja parlemen di Senayan saja yang mencapai 72 Trilyun lebih pada pemilu Tahun ini (2024) ? Jika demikian halnya, maka sepatutnya dapat dikatakan bahwa pesta demokrasi pemilu sama dengan pesta pura-pura berdemokrasi yang dibalut dengan peraturan perUUan untuk menampakkan bahwa NKRI adalah negara yang menjunjung tinggi dan memuliakan hukum serta melindungi hak-hak 270 juta jiwa rakyat untuk melaksanakan pesta demokrasi. 

Diakui keberadaan Lembaga pengawas Pemilu dikenal Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan perangkat pelaksana KPPS dan Majelis Kode Etik Pemilu dan Mahkamah sidang Pemilu akan tetapi pembentukanya dititipkan pada Mahkamah Agung begitupula Maahkamah Konstitusi RI (MKRI) sebagai penjaga Konstitusi sekaligus Mahkamah tempat menyelesaikan sengketa Pemilu namun kesemua Lembaga tersebut di atas tampak lumpuh menegakkan demokrasi dan Konstitusi serta peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan pemilu Tahun 2024 sehingga dapat dikatakan Lembaga-lembaga negara yang diberikan mandat oleh 270 juta rakyat Indonesia tidak berdaya dan tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Amanah/mandat UUD45 dan peraturan perundang-undangan. 

Baca Juga:  Kasus Narkoba Artis: Efek Domino dan Kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana

Dalam Sejarah penyelenggaraan tujuh kali pemilu maka penyelenggaraan pemilu Tahun 2024 yang sangat parah dan buruk serta kecurangan-kecurangan terburuk ini bersumber pada penggunaan sistem elektronik canggih yang keliru atau disalahgunakan untuk kepentingan salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden saja. Berita terakir mengemukakan bahwa, sebanyak 780 TPS harus dilakukan pemilu ulang dan 584 TPS harus dilakukan penghitungan susulan(koran Jakarta 22 Februari 2024); berarti sebanyak 1364(seribu tiga ratus enam puluh empat) TPS bermasalah dalam pemilihan umum 2024 telah dilaksanakan secara tidak jujur, tidak adil, tidak bebas, dan tidak rahasia atau alias telah terjadi kecurangan. 

Pengertian istilah Kecurangan itu sendiri tidak ditemukan di dalam UU Pemilu Tahun 2017 tetapi hanya dicantumkan pengertian, pelanggaran atas larangan pemilu, sengketa pemilu, dan perselisihan dalam pemilu. Merujuk data pelanggaran pemilu sebagaimana direkomendasikan Bawaslu tersebut semakin jelas bahwa penyelenggaraan pemilu Tahun 2024 telah gagal jika diukur dari total dana Pemilu yang berasal dari APBN yang telah dikeluarkan untuk keperluan pemilu tersebut, yang meliputi tahapan pertama untuk realisasi Tahun 2022 sebesar Rp 3.17 Trilyun; untuk realisasi Tahun 2023, sebesar Rp 29.9 trilyun, dan untuk realisasi Tahun 2024 sebesar Rp 38, 2 Trilyun. 

Sedangkan untuk KPU dan Bawaslu sebesar Rp 26.1 Trilyun dan melalui K/L sebesar Rp 3.8 Trilyun; sehingga total dana APBN yang telah dikucurkan untuk Pemilu Tahun 2024 adalah sebesar Rp 71.27 Trilyun. Bertolak dari keadaan dan masalah penelenggaraan Pemilu 2024 tersebut dapat diterima secara akal sehat dan patut munculnya rencana pihak Paslon 01 dan 03 mengajukan usulan hak angket melalui DPR RI; berarti jika hak angket menyatakan mosi tidak percaya karena elah terjadi pelanggaran UUD dan UU dalam proses pemilu 20124 akan memakan biaya tambahan pemilu yang tidak sedikit menguras APBN dan Devisa. Solusi kedepan yang dipandang penting dan mendesak adalah perubahan Ketentuan Pidana, Penyelesaian Sengketa dan ketentuan mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang lebih tegas, akurat dan berkepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat serta dapat menimbulkan efek jera terhadap baik pemilih maupun anggota parpol atau Masyarakat yang berhak dipilih. 

Terlebih penting dan utama adalah memperketat syarat-syarat untuk menjadi calon anggota legislative dan syarat calon presiden dan wakil presiden baik batas usia bawah maupun batas usia atas. Perubahan-perubahan yang diusulkan agar dapat memberikan edukasi yang baik dan positif kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk yang menghendaki ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa dan negara secara Amanah, jujur dan memiliki semangat dan loyalitas yang kuat kepada bangsa dan NKRI. 

Leave a Comment