0
Masalah Penanganan Dugaan Korupsi di LPE
Januari 9, 2025
0
ADR Academy

Masalah Penanganan Dugaan Korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor

Berita terakhir terkait pemberian kredit ekspor mecuat stelah Menkeu mendatangi Kejaksaan Agung untuk meminta menindaklanjuti temuan tim gabungan BPKP, Jamdatun Kejagung dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Akan tetapi satu hari setelah Menkeu mendatangi Kejaksaan Agung, Nurul Gufron KPK mengumumkan bahwa KPK telah menaikkan status pemeriksaan dugaan kroupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor ke tahap penyidikan. Hal ini berarti KPK telah menemukan sbukti permulaan yang cukup adanya tipikor juga telah menetapkan calon – caon tersangka korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor tersebut. Fakta tersebut menunjukkan telah terjadi konflik kewenangan antara KPK dan Kejaksaan Agung terlepas dari pendekatan masing – masing innstansi tersebut dalam menangani kasus tersebut. 

Konflik kewenangan tersebut tidak perlu terjadi jika koordinasi KPK dan Kejakssaan Agung atau sebaliknya terjaga dengan baik dan kedua, juga tidak perlu terjadi jika pihak Kemenkeu/Inspektorat Jenderal dan Kejaksaan telah memahami UU KPK Tahun 2002 yang antara lain menyatakan bahwa) dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan( Pasal 50 (1). 

Ayat (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Ayat (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. 

Merujuk ketentuan UU KPK tersebut jelas bagaimana seharusnya koordinasi dan sinkronisasi tugas dan wewenang KPK dan Kejaksaan serta Kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi. Historis dari lahirnya ketentuan Pasal 50 UU KPK disebabkan pada awal naskah RUU KPK ditegaskan bahwa, KPK me-monopoli penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi akan tetapi Sebagian anggota DPR Komisi II (sekarang Komisi III) dan pihak Kejaksaan berkeberatan yang disampaikan oleh Mantan JA Rachman sehingga kemudian dicari jalan kompromi. Penulis yang ketika itu mewakili pemerintah cq Kementrian Kehakiman, diminta untuk mencari Solusi dari kebuntutan diskusi naskah RUU KPK. Berpedoman pada prinsip Complementary Principle yang diatur dalam Statuta ICC 1998; telah disepakati dalam pembahasan RUU KPK di mana KPK menjadi leading sector pemberantasan korupsi; jika Kejaksaan dan kepolisian telah mulai melakukan penyelidikan atau penyidikan, mereka wajib menyampaikan laporkan SPDP kepada KPK; sebaliknya jika KPK yang mulai penyelidikan dan penyidikan maka baik Kejaksaan dan Kepolisian harus menghentikan penyelidikan dan atau penyidikannya sebagaimana telah dimuat dalam ketetuan Pasal 50 UU KPK 2002. 

Baca Juga:  Sisi Lain Dalam Pemberantasan Korupsi

Jika tugas yang diamanatkan dalam Pasal 50 dilaksanakan dan juga beberapa MOU KPK dan Kejaksaan serta Kepolisian dilaksanakan dengan sebaik – baiknya maka peristiwa penyelidikan/penyidikan perkara dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaa Eskpor(PLE) di bahwa koordinasi Kemenkeu tidak adakn terjadi.

Dalam keadaan konflik kewenangan maka perlu dicarikan Solusi dan dalam pengamatan penulis, pihak Kemenkeu melaporkan dugaan kerugian negara dari korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor sebesar Ro 2.5 T dan disusul masih ada kasus lagi sebesar Rp 3 T dipastikan telah terjadi sejak lama di mana peranan Inspektorat Jenderal Kemenkeu sangat strategis untuk melakukan pencegahan agar kerugian negara tidak semakin bertambah dan meluas; tampaknya Upaya Inspektrorat Jenderal tersebut tidak berhasil sehngga terpaksa harus digunakan pendekatan quasi – represif yaitu bekerjasama dengan pihak Jamdatun kejaksaan agung dengan rekomendasi tampaknya dengan i pendekatan pengembalian kerugian keuangan negara lebih menguntungkan daripada penuntutan dan penghukuman. 

Namun demikian pola pendekatan hukum yang relative baru tersebut belum cukup memberikan efek jera terhadap pelaku – pelaku usaha di bidang ekspor sehingga tetap memerlukan pola pendekatan hukum represif yang dapat dilaksanakan parallel dengan Upaya pengembalian kerugian negara dengan gugatan keperdataan oleh pihak Jamdatun Kejaksaan Agung dan pola pendekatan hukum tersebut memerlukan waktu tempuh relative lebih lama daripda pola pendeketan hukum represif. Kedua pola pendekatan hukum preventif dan represif masih terbuka kemungkinan untuk dibicarakan Bersama antara pihak kejaksaan agung, KPK dan kemenkeu. 

Yang pasti pola pendekatan hukum apappun yang dipilih, harus tetap mennguntungkan bagi negara dan tidak merugikannya. Peristiwa dugaan kerugian negara dari perkara korupsi di LPE ini merupakan hal baru untuk dikaji pakar – pakar hukujm pidana dan hukum bisnis beserta Kementrian Hukum dan HAM atau merujuk pada poliitk hukum Deferred Proscution Agreement (DPA) yang telah dilaksanakan di AS. 

Inggris dan Peracis saat ini seperti dalam perkara dugaan suap oleh Perusahaan pesawat Boeing terhadap mantan Dirut PT Garuda yang telah diselesaikan tuntas baik di AS maupun di Indonesia sekalipun pihak Indonesia yang masih menderita kerugian hanya memperoleh pemasukan dari pidana denda sebanyak Rp 1 M sedangkan pemerintah AS memperoleh pemasukan sepuluh kali lipat dari pidana denda di Indonesia. 

Beranjak dari peristiwa dugaan korupsi di LPE seyogyanya Kejaksaan Agung Bersama Kemenkeu menetapkan kebijakan hukum baru dalam bidang pengelolaan penegakan hukum di bidang /sektor perekonomian dan KPK selaku peninjau dalam diskusi Bersama tersebut. 

Leave a Comment