

Perkara Kanjuruhan terkait kerusuhan dalam penyelenggaraan pertandingan Liga 1 antara Persebaya dan Arema di stadion Kanjuruhan, Malang, telah menelan korban meninggal dunia sebanyak kurang lebih 135 (seratus tiga puluh lima) orang dan 754 (tujuh ratus lima puluh empat) orang luka berat/ringan.
Terjadinya akibat kematian dan/atau luka berat/ringan tersebut telah membawa dampak hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan jalannya penyelenggaraan pertandingan -lihat Regulasi Keselamatan dan Keamanan- PSSI.
Model perkara Kanjuruhan yang semula merupakan antusiasme supporter/penonton dari kedua kesebelasan tetapi kemudian berujung kematian/luka berat/ringan telah terjadi juga seperti Jerman, Belanda, Belgia dan negara di eropa timur lainnya; yang dikenal football holiganism. Namun pasca peristiwa tersebut tidak terjadi proses peradilan pidana dan bahkan cukup permintaan maaf dari kepala kepolisian Inggris dan pemerintah memberikan pelayanan Kesehatan serta ganti rugi; peradilan pidana dan penghukuman tidak dilakukan.
Di dalam teori hukum pidana, pendekatan sistematis-gramatikal, kasus Kanjuruhan termasuk tindak pidana CULPA atau KELALAIAN yang berbeda signifikan dengan konsep dolus atau SENGAJA. Perbedaan normative dan signifikan, kasus Kanjuruhan dimaknai menurut doktrin hukum pidana (tidak ditemukan dalam Penjelasan KUHP) diartikan seseorang di duga telah melakuka tindak pidana disebabkan seseorang seharusnya mengetahui (sadar) apa yang telah dilakukannya dan dapat atau mampu menyadari akibat fatal (yang akan terjadi) dari perbuatannya.
Culpa terjadi jika terdapat unsur mengetahui dan berkemampuan untuk memperikirakan akibat (dari perbuatan) yang akan terjadi atau Culpa merupakan kemampuan secara psikis-bukan fisik pada seseorang mengetahui akibat dari perbuatannya yang akan terjadi. Dengan demikian dalam hal Culpa terdapat hubungan logis antara sebab dan akibat perbuatan yang dinilai dari kemampuan psikis seseorang; sebab akibat dari suatu perbuatan yang menimbulkan akibat fatal dipengaruhi pula oleh situasi dan kondisi yang turut menyertai perbuatan Culpa dimaksud.
Titik berat Culpa dalam Kanjuruhan telah diatur dalam dua pasal yaitu, kelalaian yang mengakibatkan matinya orang lain atau mengakibatkan luka berat atau luka ringan pada orang lain. Intinya sekalipun kelalaian/Culpa akan tetapi telah terjadi akibat kerugian pada orang lain atau masyarakat penonton/supporter yang bersifat masal.
Sehubungan dengan pengertian siapa yang disebut tersangka dalam KUHAP Pasal 1 angka 14, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak pidana; dalam pengertian tersebut terdapat dua hal penting tetapi sering luput dari perhatian khususnya praktisi hukum; perbuatannya atau keadaannya.
Dalam kasus Kanjuruhan factor keadaannya inilah seharusnya dijadikan fokus perhatian serius yang sepatutnya dipertimbangkan bukan karena alasan non-hukum semata, melainkan alasan non-hukum yang merupakan penentu penyebab terjadinya kerusuhan masal yang mengakibatkan kematian dan luka berat/ringan pada sekelompok penonton/supporter antara lain, Kapasitas stadion Kanjuruhan adalah 38.054 penonton; tiket yang dijual sebanyak 43.000 tiket dan dari sisi fisik stadion telah banyak kekurangan terutama dari aspek keamanan; dan pihak penyelenggara keamanan, Polri dan tentara telah memperingatkan panitia penyelenggara bahwa dengan daya tampung stadion dan tiket terjual yang tidak sebanding serta penyelenggaraan malam hari sangat riskan sehingga diusulkan penyelenggaraan untuk dimajukan sore hari akan tetapi panitia penyelenggara khususnya Direktur PT LIB, tidak menyetujui usulan aspek keselamatan dan keamanan dari bagian keamanan sesuai dengan Regulasi Keselamatan dan Keamanan yang telah ditetapakan PSSI.
Penyelenggara PT LIB tampaknya lebih mengutamakan cost and benefit dari pertandingan tersebut tanpa mendahulukan aspek keamanan. Situasi kondisi yang menyertai dalam peristiwa Kanjuruhan adalah kepanikan luar biasa yang terjadi ketika penonton/supporter yang berebut melarikan diri hendak keluar dari pintu gerbang yang masih tertutup.
Analisa kasus Kanjuruhan dengan melihat fakta di lapangan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa penafsiran sistematis-gramatikal tidak cukup memadai dan seharusnya digunakan penafsiran ekstensif; Penafsiran ekstensif atau extensive interpretation a liberal interpretation that applies a statoty provision to a case not falling within its literal words (Black’s Law Dictionary, second edition, 2001.p367).
Sedangkan definisi penafsiran dalam bidang hukum adalah, “the art or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will, contract, or other written document, the discovery and representation of the true meaning of any signs used to convey ideas” Campbell; 1990: 817. Analisa Kasus Kanjuruhan menunjukkan hal-hal sebagaimana diuraikan. Bahwa di dalam kasus Kanjuruhan terkait dua UU yaitu UU Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan dan UU KUHP tahun 1946. UU Keolahragaan dalam kasus ini merupakan UU Kekhususan bersifat sistematis yang hanya berlaku terhadap korporasi penyelenggara pertandingan, yaitu PT LIB.
UU KUHP 1946 merupakan UU Pidana yang bersifat Umum berlaku bagi setiap orang perorangan yang di duga terlibat peristiwa Kerusuhan yang menimbulkan korban-korban mati dan luka berat/ringan. Aspek historis dan sosiologis sepakbola menunjukkan bahwa, kegiatan sepak bola telah diakui secara universal oleh masyarakat dunia termasuk juga kerusuhan dalam penyelenggaraan pertandingan olahraga sepak bola yang dikenal dengan sebutan, football hooliganism.
Football Holiganism sebagaimana pernah terjadi di Inggris, Belanda, Jerman dan Belgia termasuk di Indonesia. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi peraturan FiFA tersebut sehingga menjadi pertanyaan apakah Peraturan FIFA yang belum di ratifikasi Pemerintah Indonesia dapat digunakan sebagai dasar hukum pengaturan persepakbolaan nasional. Di dalam bagian Menimbang UU Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan jelas dinyatakan bahwa olahraga hanyalah merupakan kegiatan sosial yang memiliki fungsi sosial dan Kesehatan bagi rakyat.
Bagian Menimbang antara lain menyatakan bahwa, -bahwa keolahragaan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan olahraga, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen olahraga secara berkelanjutan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perubahan dalam keolahragaan, termasuk perubahan strategis di lingkungan internasional.
Pengertian Olahraga adalah segala kegiatan yang melibatkan pikiran, raga, dan jiwa secara terintegrasi dan sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, sosial, dan budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan Keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan Olahraga yang memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan, pengembangan, peningkatan, pengawasan, dan evaluasi.
Selain pengaturan mengenai penyelenggaran suatu pertandingan sepakbola, di dalam UU Nomor 11 tahun 2022 memuat juga ketentuan pidana; hanya ada 3 (tiga) pasal, antara lain sebagai berikut: Pasal 1O3 (1) Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000, (satu miliar rupiah). (2) Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton yang tidak mendapatkan rekomendasi dari Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersangkutan dan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000, (satu miliar rupiah).
Ketentuan pidana dalam UU Keolahragaan telah menetapkan bahwa, subjek hukum yang dapat dikenakan ancaman pidana adalah, Penyelenggara Kejuaraan Olah Raga in casu PT LIB. Bukan pengurus secara individual. Sekalipun merujuk ketentuan mengenai tanggung jawab korporasi yang diwakili Direksi, dalam Pasal 59 KUHP masih dimungkinkan dilakukan penyelidikan dan pennyidikan sejauh mana direksi sungguh-sungguh terlibat dalam peristiwa kanjuruhan yang mengakibatkan kematian dan luka berat/ringan.
Sejalan dengan tujuan umum hukum pidana adalah menemukan kebenaran materiel maka fokus penyelidikan dan penyidikan seharusnya ditujukan untuk menemukan siapa saja yang terlibat dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, apa perananya dan sejauh mana batas pertanggungjawaban pidana; hal ini merupakan inti dari proses penyelidikan dan kemudian penyidikan. Bagi masyarakat awam hukum, terdapat persepsi keliru mengenai fungsi hukum pidana selama ini, yang selalu dimaknai sebagai “palu godam,” untuk menjatuhkan hukuman semata-mata sedangkan perkembangan doktrin hukum pidana modern, fungsi hukum pidana telah mengalami perrubahan yang cepat yaitu beralih dari fungsi retributive (lex talionis) menjadi fungsi rehabilitative dan fungsi restorative.
Fungsi korektif/rehabilitatif bertujuan membangun kesadaran hukum pelaku tindak pidana sebagai bagian dari komunitas masyarakat melalui pendekatan psikologi-sosial yang bertujuan mengembalikan pelaku tindak pidana/terpidana menjadi warga masyarakat yang berkepribadian baik dan berguna dalam kehidupannya kelak dalam masyarakat.
Fungsi restorative bertujuan membangun kesadaran hukum bahwa terdakwa/terpidana dan korban adalah bagian dari komunitas sosial yang dapat di damaikan-dimusyawarahkan berdasarkan prinsip timbal-balik atau win-win solution. Perkembangan hukum pidana modern yang dikembangkan oleh seorang ahli hukum Belanda dan mantan Menteri kehakiman Belanda serta salah satu penyusun UU PIdana Belanda baru, Mr. Modderman, mengemukakan bahwa penerapan hukum pidana sejauh mungkin tidak menimbulkan masalah baru atau kerugian yang tidak diharapkan karena hukum pidana yang seharusnya mencegah atau melindungii masyarakat dari kejahatan, senyatanya telah mengiris dagingyna sendiri.
Berdasarkan alasan tersebut, Mr. Modderman menyampaikan konsep Ultimum Remedium; hukum pidana sepatutnya digunakan sebagai sarana terakhir difungsikan jika sarana hukum lain (hukum administratif) telah tidak efektif. Dalam penyelesaian kasus Kanjuruhan, prinsip ultimum remedium dikesampingkan, dan prinsip Primum remedium didahulukan/diutamakan yang dianggap satu-satuya solusi yang tepat dalam menyelesaikan kasus Kanjuruhan.
Praktik penegakan hukum berdasarkan prinsip primum remedium tidak dapat dipersalahkan karena selain merupakan diskresi aparatur hukum sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya menurut UU Organik dan UU Hukum Acara pidana yang berlaku (KUHAP) juga doktrin hukum pidana Ultimum Remedium bukan norma hukum sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi Jaksa PU dan Hakim. Peristiwa Kanjuruhan dari optic hukum pidana materiel merupakan peristiwa luar biasa yang menimbulkan keadaan darurat dan berdampak hukum sehingga peristiwa Kanjuruhan tidak dapat disamakan dengan peristiwa kerusuhan lain yang terjadi dalam keadaan normal (biasa).
Peristiwa Kanjuruhan harus dilihat dalam perspektif keadaan darurat atau noodtoestand; pelaku dihadapkan pada situasi sulit yang sifatnya konkrit, bukan situasi sulit yang umum; dan tatkala pelaku berhadapan dengan situassi yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan sulit. Noodtoestand harus dimaknai pelaku dihadapkan pada situasi yang mendesak, dengan kata lain tindakan darurat yang harus diambil harus merupakan upaya untuk mengatasi situasi yang dianggap darurat tersebut.
Bahkan ahli berpendapat bahwa noodtoestand dimaksud dalam hubungan peristiwa Kanjuruhan lebih pada alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond). Dalam situasi sulit tersebut tidak dapat dikendalikan alias chaos, masuk akal dan sifat manusiawi jika petugas keamanan mengalami tekanan-tekanan psikis dan fisik sehingga mati dua petugas polri; dan sesuai dengan prosedur tetap yang diatur dalam Perkpolri nomor 1 tahun 2009 maka petugas telah melaksanakan kewajiban untuk menggunakan kekuatan tahap kelima dengan menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa yang tidak terkendali.
Namun kemudian yang terjadi adalah kematian dan luka berat/ringan yang kemudian perlu dipertanggungjawabkan secara hukum kepada public. Dalam hal pertanggungjawaban kehadapan public dan keluarga korban dari aspek hukum pidana dalam keadaan normal penerapan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP masih dimungkinkan jika situasi normal akan tetapi dalam situasi keadaan chaos atau keadaan darurat maka hukum pidana in case ketentuan KUHAP yang termasuk keadaan darurat (noodtoestand) tidak diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara jernih dan objektif memenuhi tujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Penafsiran hukum ekstensif-lah yang dapat memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dengan pertimbangan bahwa faktor penyebab adalah situasi darurat antara lain yang telah diuraikan di atas; bukan hanya dari perbuatan orang per orang atau per kelompok orang. Jikapun cara penafsiran ekstensif tidak diterima oleh praktisi hukum maka untuk meluruskan anggapan keliru masyarakat tentang siapa yang bertanggung jawab untuk apa, disarankan agar juga penyebab yang berasal dari supporter Arema yang menjadi provokator kerusuhan wajib kiranya diperiksa secara intensif karena sikap anarkis dan agresif massa Arema juga telah mengakibatkan kematian dan luka berat/ringan korban-korban.
Lebih jelas lagi perlu diketahui ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009, Pasal 7 ayat (2) c yang menyatakan, “setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut: C. tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e. Pasal 5 ayat (1) huruf e mengenai tahapan penggunaan kekuatan dengan senjata tumpul, senjata kimia antara lain semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.
Ketentuan Kapolri tersebut juga telah dibenarkan di dalam Basic Principle of Use of Force and Firearms, tahun 1990, A need for law enforcement officials to use force may be reduced by their appropriate equipping with “self-defensive equipment such as shields, helmets, bulletproof vests and bulletproof means of transportation”, as set out in Principle 3 of the 1990 Basic Principles. Moreover, law enforcement officials are also entitled to enjoy protection from the state of their fundamental human rights to life and to bodily integrity. In addition, each use of force must be for a legitimate law enforcement purpose. As Article 3 of the 1979 Code of Conduct provides, law enforcement officials may use force only “to the extent required for the performance of their duty”. The official commentary on this provision clarifies that law enforcement officials may use such force, and no more, “as is reasonably necessary under the circumstances” to prevent crime or to effect or assist in the lawful arrest of offenders or suspected offenders.
Law enforcement officials, in carrying out their duty, shall, as far as possible, apply non-violent means before resorting to the use of force and firearms. They may use force and firearms only if other means remain ineffective or without any promise of achieving the intended result. International Convenant of Civil and Political Rights 1946 penggunaan kekuatan (force) yang melanggar hak asasi manusia masih dibolehkan, sebagai berikut In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana kasus Kanjuruhan disyaratkan adanya penyebab terdekat (Von Buri); J. Remmelink mengemukakan sebagai berikut: kausalitas, hal sebab-akibat, hubungan logis antara sebab dan akibat, tidak diragukan lagi merupakan salah satu persoalan filsafat terpenting, setiap peristiwa, demikian tampaknya, selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab dari sejumlah peristiwa lain. Tanpa ada sebab tidak akan terjadi apapun. Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di masa lalu, berada di kekinian, dan menghilang di masa depan.
Namun yuris bidang hukum pidana tidaklah berurusan dengan artian kausalitas seperti di atas. Yang menjadi fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah makna apa yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas suatu akibat tertentu. Namun demikian menurut J. Remmelink, selain sudut pembuat undang-undang, prinsip kepatutan dan kepantasan (billijkwheid en redelijkheid) akan memainkan peran penting, (J Remmleink, 2003,125-126).
Dalam kasus Kanjuruhan, APH wajib menemukan penyebab terdekat atau penyebab langsung, bukan penyebab tidak langsung. Untuk menemukan penyebab terdekat dan langsung harus dipertimbangkan fakta-fakta (1) Penonton melebihi kapasitas stadion, daya tampung sebanyak 38.000 orang, sedangkan tiket terjual sebanyak 48.000 tiket; (2) Pintu gerbang stadion hanya dibuka 2 (dua) pintu gerbang dan peristiwa kematian dan luka berat/ringan terjadi pada pintu gerbang yang tertutup sedangkan pintu gerbang lain terbuka dan tidak terjadi kematian dan luka berat; (3) Situasi panik penonton, (4) Stadion tidak memiliki Sertifikat Laik Fungsi, dengan kata lain tidak laik untuk digunakan sebagai tempat pertandingan sesuai standar FIFA; (5) Penonton/supporter yang bersikap anarkis; melawan petugas keamanan dan merusak stadion; (6) Tembakan gas air mata ke tribun penonton; (7) Usulan bagian Keamanan untuk memajukan jadwal waktu pertandingan ke sore hari karena alasan teknis keamanan yang tidak memungkinan dilaksanakan malam hari tetapi penyelenggara pertandingan PT LIB menolak usulan tersebut.
Sesungguhnya kebenaran materiel dalam peristiwa bahwa, penyebab terdekat dan langsung adalah, tidak laik fungsi stadion Kanjuruhan dan situasi panik penonton sedangkan pintu gerbang dalam keadaan tertutup. Dalam konteks penyebab tersebut maka pengertian Culpa atau Kelalaian dalam Kasus Kanjuruhan perlu ditafsirkan secara ekstensif yaitu dengan menambah kalimat frasa, ceterus paribus, yang dimaknai, jika keadaan-keadaan di sekitar peristiwa tidak berubah. Ceteris paribus adalah istilah dalam bahasa Latin, yang secara harfiah dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “dengan hal-hal lainnya tetap sama”.